Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 21]
Minggu, 7 Januari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, para sahabatnya, dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, adalah sebuah kebahagiaan bagi kita ketika Allah jadikan kita termasuk umat Islam yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umat yang mengikuti nabi dan rasul paling utama. Seorang nabi yang dipilih oleh Allah sebagai khalil-Nya sebagaimana Allah telah memilih Ibrahim sebagai khalil-Nya.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah khalil Allah; yaitu orang yang paling dicintai oleh Allah. Kecintaan Allah kepada beliau tidak lain karena ketundukan beliau dan pengabdiannya kepada Allah; karena kebersihan hatinya dan ketakwaan tingkah lakunya. Oleh sebab itu Allah memuji Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba-Nya.

Kita telah mempersaksikan bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah. Hamba sehingga tidak boleh disembah, dan rasul sehingga tidak boleh didustakan.

Di dalam hadits Ubadah bin Shamit yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid juga diterangkan bahwa salah satu syarat untuk bisa masuk surga itu adalah mempersaksikan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa Isa bin Maryam adalah hamba dan utusan-Nya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salam adalah nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mengutus beliau untuk mendakwahkan tauhid kepada umatnya, sebagaimana nab-nabi yang lain datang dengan membawa misi yang sama. Beliau tidak memerintahkan umatnya untuk menjadi penyembah dirinya atau mengaku bahwa dirinya adalah anak Tuhan; sebagaimana keyakinan yang dipegang oleh kaum Nasrani.

Nabi ‘Isa ‘alaihis salam adalah hamba Allah, bukan tuhan, dan bukan anak tuhan. Beliau juga seorang rasul, bukan manusia biasa, karena Allah berikan wahyu kepadanya, dan Allah wajibkan manusia di zamannya untuk tunduk mengikuti ajaran dan bimbingannya. Sehingga ungkapan nabi Isa sebagai ‘hamba Allah’ merupakan bantahan bagi kaum Nasrani yang mengangkatnya sebagai tuhan atau anak tuhan, dan ungkapan ‘Isa sebagai ‘utusan Allah’ menjadi bantahan bagi kaum Yahudi yang menjelek-jelekkan beliau dan mengatakannya sebagai anak hasil zina.

Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita untuk mengambil sikap pertengahan dan meniti jalan lurus, tidak berlebihan tetapi juga tidak meremehkan. Apabila demikian sikap kita kepada para nabi maka tentu saja sikap kita kepada orang-orang salih atau para ulama selain mereka juga serupa; kita tidak boleh mengangkat mereka sehingga berada pada tingkat sesembahan dan kita juga tidak boleh melecehkan atau merendahkan kedudukan mereka.

Hampir-Hampir Langit Pecah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hampir-hampir saja langit pecah karenanya, bumi akan terbelah, dan gunung-gunung pun akan runtuh ketika mereka mendakwakan bahwa ar-Rahman/Allah memiliki anak. Dan tidaklah pantas bagi ar-Rahman untuk memiliki anak. Tidaklah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi melainkan pasti akan datang kepada ar-Rahman sebagai hamba.” (Maryam : 90-93)

Ayat-ayat di atas merupakan celaan dan kutukan kepada orang-orang yang membangkang dan menentang tauhid dari kalangan Nasrani, Yahudi, dan juga kaum musyrikin. Hal itu disebabkan mereka meyakini bahwa Allah memiliki anak. Kaum Nasrani meyakini bahwa Isa putra Allah. Kaum Yahudi meyakini bahwa Uzair adalah anak Allah. Dan orang-orang musyrikin meyakini bahwa para malaikat adalah anak perempuan Allah. Maha Tinggi Allah dari ucapan mereka itu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 501)

Langit yang begitu besar dan kuat hampir-hampir menjadi pecah karena ucapan mereka itu. Bumi hampir-hampir terbelah dan meledak, demikian pula gunung-gunung akan menjadi hancur-lebur. Hal itu semua disebabkan keyakinan yang nista itu. Sesungguhnya tidak pantas Allah memiliki anak. Karena apabila Allah memiliki anak maka hal itu menunjukkan kekurangan dan kebutuhan Allah kepadanya. Padahal Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Selain itu, anak adalah serupa atau sejenis dengan orang tuanya, sedangkan Allah tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Segala makhluk entah itu malaikat, manusia, ataupun jin adalah dikuasai dan diatur oleh Allah. Mereka sama sekali tidak memiliki andil dalam mengatur atau menguasai alam semesta ini. Apabila sedemikian besar kekuasaan dan keagungan-Nya, lalu bagaimana mungkin dikatakan bahwa Allah memiliki anak?! (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 501)

Aqidah Yang Berlandaskan Kedustaan

Allah Ta’ala pun berfirman (yang artinya), “Katakanlah -wahai Muhammad-; ‘Jika ar-Rahman memang memiliki anak maka akulah yang pertama kali akan menyembahnya. Maha Suci Rabb yang menguasai langit dan bumi, Rabb yang memiliki Arsy dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (az-Zukhruf : 81-82)

Maksud ayat tersebut adalah bantahan bagi orang-orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki anak. Sebab seandainya Allah benar-benar memiliki anak niscaya manusia paling utama dan rasul yang paling mulia yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan menjadi orang yang pertama-tama beribadah kepadanya -sebab anak adalah bagian dari orang tuanya- dan beliau tentulah akan menetapkan bahwa Allah memiliki anak. Akan tetapi pada kenyataannya beliau tidaklah menyembah orang-orang yang dianggap sebagai anak Allah oleh kaum musyrikin, dan beliau juga tidak membenarkan keyakinan bahwa Allah memiliki anak. Dari sinilah bisa disimpulkan bahwa keyakinan mereka bahwa Allah memiliki anak adalah suatu keyakinan yang batil dan menyimpang (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 770)

Oleh sebab itu Allah berfirman di dalam surat al-Kahfi menyatakan kedustaan perkataan mereka yang mendakwakan bahwa Allah memiliki anak. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mengangkat anak. Tidaklah mereka memiliki sedikit pun ilmu tentangnya, demikian juga tidak bapak-bapak mereka. Betapa besar ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Tidaklah yang mereka ucapkan itu kecuali dusta belaka.” (al-Kahfi : 4-5)

Sesungguhnya mereka yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak tidaklah meyakini dengan sebenarnya akan hal itu. Mereka itu hanyalah mengucapkan sesuatu yang tidak tertanam di dalam hatinya. Sebab tidak ada seorang pun yang berakal sehat akan mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Bagaimana mungkin Allah mempunyai anak, sementara orang yang mereka sebut sebagai anak Tuhan itu adalah manusia seperti kita. Dia makan, minum dan mengenakan pakaian sebagaimana layaknya kita. Dia juga merasakan lapar, haus, panas dan dingin seperti manusia. Lantas bagaimana mungkin orang semacam itu dianggap sebagai anak Allah? Hal ini tentu tidak mungkin. Oleh sebab itu Allah mengatakan (yang artinya), “Tidaklah yang mereka katakan itu melainkan dusta belaka.” (lihat Tafsir Suratil Kahfi oleh Syaikh al-‘Utsaimin, hal. 14-15)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil penjelasan Ibnu Ishaq bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut sebagai ‘orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mengangkat anak’ adalah kaum musyrikin Arab di masa itu. Mereka mengatakan, “Kami menyembah para malaikat, sebab mereka itu adalah anak-anak perempuan Allah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/135-136)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud sebagai ‘orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mengangkat anak’ itu mencakup Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrikin. Yahudi mengatakan bahwa Uzair anak Allah. Nasrani mengatakan bahwa Isa al-Masih adalah anak Allah. Dan kaum musyrikin mengatakan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah (lihat Zaadul Masiir, hal. 837)

Ketegasan Sikap Nabi ‘Isa ‘alaihis salam  

Nabi ‘Isa ‘alaihis salam yang dianggap oleh kaum Nasrani sebagai anak Tuhan pun telah membantah keyakinan mereka itu semenjak pertama kali beliau berbicara di hadapan kaumnya yaitu ketika beliau masih bayi. Beliau berkata (yang artinya), “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah. Allah memberikan kepadaku kitab suci dan menjadikan aku sebagai nabi. Dan Allah menjadikan aku diberkahi dimana pun aku berada…” (Maryam : 30-31)

Di dalam perkataan itu beliau berbicara kepada mereka untuk menegaskan bahwa beliau adalah hamba Allah dan bahwasanya beliau sama sekali tidak memiliki sifat-sifat yang membuatnya layak untuk dijadikan sebagai sesembahan/tuhan ataupun anak tuhan. Maha Tinggi Allah dari ucapan kaum Nasrani yang jelas-jelas telah menentang perkataan ‘Isa ‘alaihis salam sementara mereka mengaku sebagai pengikut ajarannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 492)

Di dalam surat al-Ma’idah Allah telah menceritakan dialog bersama Nabi ‘Isa ‘alaihis salam pada hari kiamat nanti yang menunjukkan bahwa beliau berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani berupa penyembahan dan penisbatan beliau sebagai anak Tuhan.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah berkata; Wahai Isa putra Maryam, apakah kamu berkata kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah’ dia pun berkata, ‘Maha Suci Engkau. Tidaklah pantas bagiku mengatakan apa-apa yang tidak menjadi hakku. Jika aku mengucapkannya tentu Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa-apa yang ada pada diriku sementara aku tidak mengetahui apa-apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara gaib.” (al-Ma’idah : 116)

Ayat ini merupakan celaan dan bantahan bagi kaum Nasrani yang meyakini bahwa Allah adalah satu diantara tiga sesembahan (trinitas). Di dalam ayat ini Allah ingin menunjukkan kepada mereka bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sendiri telah berlepas diri dari keyakinan mereka itu. Beliau pun berkata (yang artinya), “Tidaklah Aku katakan kepada mereka kecuali sebagaimana apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu ‘Sembahlah Allah Rabbku dan juga Rabb kalian’.” (al-Ma’idah : 117). Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak memerintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah semata sekaligus mengandung larangan menjadikan beliau dan ibunya sebagai sesembahan tandingan bagi Allah. Sebagaimana beliau juga menyatakan bahwa Allah adalah Rabbnya dan Rabb bagi kaumnya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 249)

Dengan demikian, keyakinan Nasrani bahwa ‘Isa ‘alaihis salam adalah anak Tuhan adalah kedustaan. Dan perbuatan mereka dengan menyembah ‘Isa dan ibunya adalah termasuk kesyirikan kepada Allah yang Nabi ‘Isa ‘alaihis salam pun berlepas diri bahkan melarangnya dengan keras.

Pelajaran Bagi Umat Islam

Demikian pula halnya siapa saja diantara umat ini yang melakukan tindakan dan perbuatan sebagaimana halnya kaum Nasrani yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan -apakah yang disembah itu malaikat, nabi, ataupun wali- maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seluruh nabi yang lain berlepas diri darinya bahkan melarang keras perbuatan itu.

Nuh ‘alaihis salam -rasul yang pertama- berdakwah tauhid kepada kaumnya. Beliau berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah [saja]. Tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain-Nya.” (al-A’raaf : 59)

Hud ‘alaihis salam pun menyerukan ajakan yang sama. Beliau berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 65)

Shalih ‘alaihis salam berdakwah tauhid kepada umatnya. Beliau berkata (yang artinya), “Sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 73)

Syu’aib ‘alaihis salam pun mendakwahkan tauhid. Beliau berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 85)

Seperti inilah gambaran kekompakan dakwah para rasul ‘alaihimus salam. Semuanya mengajak kepada umatnya untuk bertauhid kepada Allah. Walaupun masa dan masyarakat yang mereka hadapi berbeda-beda, tetapi dakwah tauhid tetap menjadi prioritas utama dakwahnya.

Inilah yang Allah ta’ala tegaskan di dalam kitab-Nya yang mulia (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain-Nya.” (an-Nahl : 36)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata -seraya mengomentari ayat-ayat terdahulu yang berisi seruan dakwah para rasul-, “Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwasanya ibadah (tauhid, pent) berlaku umum bagi semua umat. Dan bahwa para rasul memerintahkan umatnya untuk beribadah/bertauhid. Dan bahwa para rasul melarang umat dari syirik. Karena ibadah tidak sah dan tidak diterima apabila disertai syirik.” (lihat Syarh al-‘Ubudiyah, hal. 15)

Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Semua dalil yang berisikan celaan bagi ahli kitab maka dalil itu pun tertuju kepada kita apabila kita juga meniti jalan sebagaimana jalan yang mereka tempuh. Orang-orang yang melakukan peribadatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara umat ini dan berdoa kepada beliau sebagai sekutu bagi Allah atau memohon kepadanya untuk dibebaskan dari berbagai kesempitan, atau mereka yang meminta-minta/berdoa kepada ahli bait beliau atau orang salih lainnya maka perbuatan ini mirip sekali dengan perbuatan kaum ahli kitab kepada nabi-nabi mereka.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’, hal. 43-44)

Hal itu sebagaimana yang terjadi pada kaum Rafidhah/Syi’ah yang berlebih-lebihan terhadap ahlul bait/keluarga Nabi terlebih-lebih lagi kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan kedua putranya yaitu Hasan dan Husain, sampai mereka pun beribadah kepadanya sehingga menjadi sekutu bagi Allah dalam hal ibadah. Adapun Ahlus Sunnah maka mereka bersikap pertengahan. Mereka mencintai ahlul bait tetapi tidak mengangkatnya sampai pada tingkatan melebihi kedudukan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Sebab al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ telah menetapkan tidak bolehnya bersikap ghuluw/melampaui batas. Sesungguhnya ibadah adalah hak Allah semata, sehingga siapa pun selain Allah sama sekali tidak berhak menerima ibadah, setinggi apa pun kedudukan mereka itu (lihat al-Bayan al-Murashsha’, hal. 44)

Hal ini pun menjadi bahan perenungan bagi kita tentang besarnya nikmat hidayah ini. Hidayah yang kita minta setiap hari di dalam sholat. Ketika kita memohon kepada Allah petunjuk jalan yang lurus. Bukan jalannya orang yang dimurkai -yaitu jalan Yahudi dan pengikut jalan mereka- dan bukan pula jalan orang yang tersesat -yaitu jalan Nasrani dan pengikut jalan mereka-. Sehingga kita memohon kepada Allah untuk diberikan petunjuk kepada Islam dan berpegang-teguh dengannya. Kita meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan bukan meniti jalan kaum yang menyimpang semacam Syi’ah, Khawarij, dan lain sebagainya.

Aduhai, betapa besar kebutuhan kita kepada hidayah itu. Kalau lah bukan karena hidayah dari Allah maka kita tidak akan bisa menunaikan sholat, tidak bisa berpuasa, bahkan tidak bisa meyakini aqidah yang benar, apalagi untuk bisa tegar di atas Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada kita, dan kita pun tidak akan bisa meraih hidayah itu kalau Allah tidak mencurahkan hidayah itu kepada kita…

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-21/